Oleh: Peter B, MA
“Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: “Rabi, makanlah.” Akan tetapi ia berkata kepada mereka: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal.” ( Yohanes 4:31-32)
Kebudayaan. Apa yang Anda pikirkan setelah mendengar kata-kata tersebut. Mungkin aja di pikiran kita muncul kata-kata lain seperti tradisi, kebiasaan, adat istiadat dan sebagainya. Memang tidak terlalu salah. Semuanya itu memang termasuk unsur-unsur kebudayaan. Dan tentunya kita semua setuju bahwa kebudayaan itu beraneka ragam macamnya. Setiap bangsa mempunyai budayanya sendiri. Setiap suku bangsa memiliki adat istiadatnya masing-masing. Bahkan lebih kecil dari itu, setiap keluarga mungkin saja mempunyai gaya hidup dan tata cara tersendiri.
Karena macam ragamnya kebudayaan itu, tak pelak lagi hal itu akan menimbulkan adanya berbagai bentuk perbedaan. Antara bangsa yang satu akan berbeda dengan bangsa lain. Setiap suku yang satu pasti memiliki perbedaan-perbedaan dengan suku yang lain. Setiap ras yang satu akan kontras dengan ras yang lain. Termasuk di dalamnya adalah perbedaan pola pikir atau cara pandang terhadap sesuatu hal.
Di dalam setiap kebudayaan, suku terdekat sekalipun bisa saja memang mempunyai lebih banyak kesamaan daripada suku yang lebih jauh tempatnya. Tetapi di antara suku-suku terdekat pasti itu saja tetap akan didapati perbedaan-perbedaan. Tetapi seringkali menjadi fakta bahwa semakin jauh letak dari suatu kelompok atau suku bangsa maka semakin jauh pula perbedaannya dalam segala hal. Ambil contoh suku Dhani di Irian Jaya pastilah sangat jauh berbeda dengan suku Eskimo di kutub.
Jika di amati, perbedaan-perbedaan itu meliputi banyak hal bahkan dalam sendi-sendi terdasar kehidupan mereka. Misalnya, saja dalam bentuk cara berpakaian. Beberapa suku berpakaian sangat tertutup tetapi suku lain begitu terbuka dalam berpakaian. Juga mengenai cara makan maupun bangunan rumahnya. Tradisi tertentu hanya membolehkan satu istri untuk seorang laki-laki tetapi di banyak tradisi memiliki banyak istri atau selir dapat merupakan suatu kebanggaan. Perbedaan yang cukup mengejutkan mungkin saja berkaitan dengan hal makanan, yaitu perbedaan dari apa yang di makan. Kelompok suku yang telah modern membatasi dirinya makan sayur-sayuran dan daging ternak, tetapi suku-suku yang masih primitif bahkan merasa enak mengkonsumsi daging manusia!
Dari manakah sesungguhnya segala perbedaan ini dimulai? Alkitab memberitahukan kita bahwa pangkal mula segala keragaman itu adalah saat Tuhan mengacaukan bahasa manusia di peristiwa menara Babel (Kejadian 11). Kekacauan bahasa berlanjut pada pengelompokan manusia yang berbahasa sama yang pada akhirnya mereka membentuk budaya mereka sendiri di wilayah mereka sendiri pula.
Tetapi sebenarnya ada yang lebih mengerikan daripada perbedaan budaya di antara ras, suku atau golongan-golongan manusia. Itulah perbedaan antara pola pikir Tuhan dan manusia. Pada mulanya, manusia hidup dalam suatu ‘budaya’ yang sama dengan Tuhan. Konsep-konsep mereka sama dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan. Tetapi karena kejatuhan mereka dalam kuasa dosa maka setelah itu kendali hidup atas manusia jatuh di tangan iblis, penguasa kegelapan itu. Sejak hari itulah manusia mulai disesatkan dengan hebatnya. Iblis membawa manusia semakin jauh dari gambaran mereka semula, yaitu segambar dengan Allah. Semakin jauh manusia berbeda dengan Allah, iblis semakin mencapai tujuannya. Sebaliknya, rencana Allah bagi kita adalah membawa kepada kemuliaan kita yang semula, yang serupa dengan Dia (Roma 8:28).
Dengan jujur harus kita akui bahwa seringkali kita menjumpai bahwa prinsip-prinsip hidup kita di dunia ini tidak sama dengan apa yang telah Tuhan tetapkan. Contoh konflik-konflik yang tajam dalam hal ini nyata jelas dalam Alkitab kita. Yesus adalah tokoh utama dalam berbagai konflik ini. Sebagai contoh, kebanyakan manusia melihat pada penampilan luar semata. Apa yang tampak benar dan baik di luar itu juga baik bagi manusia. Tetapi Yesus melihat seperti Bapa melihat. Itulah konsep Tuhan tentang manusia. Tuhan melihat hati. Oleh sebab itu benarlah firman Tuhan bahwa: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7b). Dan tidak hanya itu, ada banyak lagi pertentangan-pertentangan antara konsep ‘kebudayaan’ manusia zaman ini dengan konsep Tuhan. Renungkanlah mengenai nats ini: Yesus berkata kepada mereka: “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan (Lukas 22:25-26). Di dunia, yang paling berkuasalah yang menjadi pemimpin, tetapi di hadapan Tuhan siapa yang paling rendah hatilah yang akan diangkat sebagai pemimpin oleh Tuhan. Karena ‘apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah’ (Lukas 16:15). Satu kontradiksi lagi bukan? Tetapi mungkin tidak ada yang lebih kontroversial daripada konsep Yesus dalam hal ini: ‘Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu’ dan juga ‘Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu’ (Matius 5:39,44). Sungguh betapa jatuhnya kita telah berubah dari sifat alami penciptaan kita!
Dalam nats renungan kita di atas, kita melihat satu kontradiksi kembali. Murid-murid Yesus datang dan menawarkan roti kepada Yesus. Tetapi jawaban Yesus mencengangkan kita. Yesus menjawab, “PadaKu ada roti yang tidak kamu kenal!”. Apakah itu roti dengan resep baru? Atau jenis makanan yang belum pernah ada di Israel? Tentu saja bukan. Pada saat murid-muridNya menawarkan roti kepadaNya, Yesus sedang melihat suatu kesempatan menyampaikan suatu perbedaan antara konsep Tuhan dengan konsep manusia. Manusia seringkali hanya mengenal roti untuk kebutuhan jasmani tetapi tidak mengetahui bahwa ada roti lain yang penting untuk kebutuhan spiritual mereka.Itulah yang dimiliki oleh Yesus tetapi murid-murid tidak mengenalnya.
Apabila kita membaca nats tersebut secara lengkap maka kita akan mengetahui bahwa ‘ makanan yang tidak dikenal’ oleh para murid adalah dua perkara: (1) Melakukan kehendak Bapa dan (2) Menyelesaikan pekerjaan Bapa. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kedua hal tersebut? Itu akan kita pelajari di edisi mendatang tetapi sebelum itu mari kita melihat inti dari renungan kita kali ini.
Sebagai teladan bagi para penyembah sejati, Yesus menunjukkan kepada kita suatu kehidupan yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa kehidupan seorang penyembah adalah berbeda dengan konsep dunia tetapi selaras sejalan dengan konsep illahi yang telah ditetapkan oleh Bapa. Setiap penyembah dipanggil untuk menjalani hidup secara berbeda dari dunia ini. Tetapi bukan hanya itu melainkan juga hidup berbeda dengan standard yang jauh lebih tinggi daripada yang diterapkan dunia ini. Sudah selayaknya dan memang seharusnya kita sebagai penyembah sejati menanggalkan dan mulai mengubah setiap pola pemikiran yang lahir dari sifat kedagingan manusia yang dikuasai oleh dosa itu. Tidak mengherankan Paulus memperingatkan kita supaya kita ‘dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya’ (Efesus 4:23-24).
Seperti Yesus, kita hidup dalam suatu kehidupan yang unik, yaitu menurut hukum dan prinsip surgawi. Dan sesungguhnya demikianlah Bapa mau kita hidup selama di dunia ini. Apa yang merupakan standard dunia harus kita tinggalkan karena kini hidup kita adalah hidup yang baru dan tersembunyi di dalam Kristus. “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kolose 3:3). Amin!
(Diambil dari warta Worship Center edisi 10 – 15 Maret 2002)
Comments
Post a Comment