Oleh: Peter B, MA
“Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea. Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, ditepi danau, di daerah Zebulon Naftali,….(Matius 4:12-13)
Salah satu hal tersulit dan terkadang masih disebut sebagai misteri adalah apa yang disebut sebagai penderitaan. Ada banyak orang Kristen yang akhirnya undur dan meninggalkan Tuhan karena tidak tahan menderita. Mereka tidak tahu bagaimana bersikap menghadapi penderitaan. Seringkali banyak orang memberontak kepada Tuhan karena merasa Tuhan telah bersikap tidak adil, dan mengikut Tuhan itu susah. Tetapi kebalikannyalah yang benar. Tuhan tidak menginginkan anak-anakNya menderita, tetapi seringkali Ia mengizinkan penderitaan menimpa anak-anakNya, supaya mereka semua dibentuk menjadi dewasa di dalam Dia, hingga menjadi sempurna seperti Kristus sendiri. “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan sesuatu apapun.” (Yakubus 1:2-4).
Sikap kita terhadap penderitaan menentukan komitmen hidup serta penyembahan kita kepada Tuhan. Janganlah karena penderitaan, hidup rohani kita macet dan mengalami kemunduran. Dan janganlah penyembahan kita menjadi ragu-ragu serta terhalang karena penderitaan. Setiap penyembah yang sejati seperti Yesus mengerti benar bagaimana harus bersikap terhadap penderitaan.
Dalam nats di atas, Yesus mendengar Yohanes Pembaptis ditangkap oleh Herodes. Reaksi pertama Yesus adalah Ia menyingkir dari wilayah itu. Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa Yesus memang dikehendaki Bapa untuk menyingkir dari tempat itu. Tetapi mau tidak mau harus diakui bahwa salah satu alasan Yesus menyingkir dari tempat itu ke Galilea adalah karena adanya penangkapan Yohanes Pembaptis yang bisa merembet pada penangkapan terhadap Yesus. Pertanyaan adalah: apakah Yesus seorang pengecut sehingga Ia harus melarikan diri karena takut untuk di tangkap? Tentu saja tidak demikian. Yesus jelas bukanlah seorang pengecut sama sekali. Apa yang kita renungkan minggu lalu menyatakan betapa beraninya Yesus. Dengan tegas, Ia menyucikan bait Allah; dengan teriakan dan cambuk. Dalam kisah itu, semua setuju bahwa Yesus tidak tampak seperti seorang pengecut sama sekali.
Jadi, mengapa Yesus harus menyingkir? Tidak lain karena Yesus selain mengikuti aliran kegerakan Bapa (lihat Matius 4:13-16) ada tujuan lain yaitu: Yesus menghindari penderitaan yang tidak perlu. Baiklah, saya mendengar nada-nada tidak percaya Anda. Tetapi haruslah diketahui dengan baik bahwa meskipun Yesus di panggil untuk menderita dan menanggung dosa manusia hingga mati di kayu salib, tetapi Ia tidaklah mengambil segala bentuk penderitaan yang tidak perlu. Dan tidak hanya sekali Yesus bertindak demikian tetapi beberapa kali, misalnya “Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah” (Yohanes 8:59)
Mengapa hal ini penting untuk dibicarakan? Ini adalah mengenai keseimbangan sikap kita terhadap penderitaan. Beberapa orang menolak mentah-mentah segala bentuk yang berbau penderitaan yang pada akhirnya juga menolak Kristus karena mengikut Kristus mereka identikkan dengan penderitaan serta ketidaknyamanan. Dengan mengetahui fakta ini, mereka yang merasa hidup Kristen penuh dengan penderitaan harus memikirkan kembali pendapat mereka. Yesus tidak selalu memilih semua penderitaan yang ada! Di sisi yang lain, ada orang-orang yang merasa dengan hidup menderita dan menyakiti diri mereka, maka mereka berkenan kepada Tuhan. Yang dapat dimasukkan golongan ini adalah mereka yang hidup membujang, menyepi, menyiksa diri dengan kewajiban-kewajiban jasmani yang hampir tidak masuk akal. Sebenarnya ini adalah kebohongan iblis yang lain untuk menghancurkan hidup manusia sehingga manusia pahit, sengsara dan penuh air mata selama di dunia. Ketahuilah kebenaran ini sekali lagi, Yesus menyingkir karena Ia menghindari penderitaan yang tidak perlu, yang tidak membawa manfaat apapun di hadapan Tuhan. Ia mau menanggung penderitaan asalkan itu membawa kemuliaan nama Tuhan dan menjadi keselamatan bagi banyak orang. Oleh karena itulah, Ia merangkul salib dengan sukacita! (lihat Ibrani 12:2).
Salah satu uraian yang baik mengenai topik ini adalah yang pernah ditulis oleh John White dalam bukunya Harga Penyerahan Diri, demikian: “….Ia (Yesus) tidak mau menderita asalan menderita saja. Pada suatu kesempatan lain, ketika orang banyak hendak membunuh Dia, Yesus meloloskan diri dari kepungan mereka. Pada beberapa kesempatan, Yesus dengan tabah menghadapi maut, tetapi dengan sama cepatnya Ia menghindari maut pada kesempatan lain. Mengapa? Apakah pada beberapa hari tertentu Ia lebih kuat daripada hari-hari lain?
Perjanjian Baru tidak pernah menyatakan bahwa pengorbanan dan penderitaan itu baik. Yesus menghadapi salib, karena itu adalah satu-satunya jalan agar orang-orang berdosa dapat diselamatkan. Ia “mengabaikan kehinaan dan dengan tekun memikul salib” (Ibrani 12:2) bukan karena berbuat begitu adalah kebaikan, tetapi karena penderitaan dan maut adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai tujuanNya.
Ini adalah penting. Para guru agama selama berabad-abad telah mengajarkan teknik-teknik pertapaan, kadang-kadang karena membuat diri sendiri menderita dianggap menambah pahala bagi diri sendiri. Tetapi lebih sering diajarkan sebagai semacam latihan Sparta untuk mengalahkan tubuh yang memberontak sehingga pada taraf tertentu orang dapat menjadi benar-benar rohani. Penderitaan seperti itu sama sekali tidak ditemukan dalam kehidupan Yesus. Meskipun Ia miskin, tidak ada petunjuk mengenai peratapan dalam seluruh hidupnya. Bahkan Ia dituduh sebagai seorang pelahap dan peminum” (Matius 11:19). Semata-mata karena sebagaimana pengakuanNya sendiri, Ia makan dan minum seperti juga orang-orang lain pada waktu itu. Jika Ia berpuasa atau melewatkan waktu dalam doa, Ia berbuat demikian dengan tujuan tertentu. Ia bukan melatih diriNya untuk menekan keinginan-keinginan tubuhNya.
Kehidupan Yesus sama sekali bebas dari kedua sikap tersebut terhadap penderitaan. Ketika Ia akhirnya menghadapi penderitaanNya, maka itu adalah karena ‘waktunya’ telah tiba. Yesus bukan seorang masokhis, seorang Sparta atau seorang pertapa. Ia menghadapi penderitaan dan kematian karena Ia mengasihi orang-orang yang tersesat dan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka.”
Dalam penyembahan kita kepada Tuhan, biarlah kita menyembah dengan suatu pengertian yang benar. Dengan demikian kita akan menyembah dengan segenap hati. Yaitu saat kita sungguh-sungguh mengenal bahwa Ia Allah yang baik, Ia tidak pernah menginginkan penderitaan bagi anak-anakNya. Tetapi Ia Allah yang juga menggunakan penderitaan untuk memproses dan memurnikan setiap anak-anakNya. (Ibrani 12:6-9). Terpujilah kebaikanNya, terpujilah kasih karuniaNya yang mulia itu! Amin.
Comments
Post a Comment