Skip to main content

DOUBLE STANDARD


Oleh : Peter B, MA



Dalam salah satu ayat yang paling sering dikutip tentang menghakimi orang lain, yaitu Matius 7:1-5, sebenarnya Yesus tidak sedang melarang untuk menghakimi. Saya yakin sekali akan hal itu sebab pada kesempatan yang lain, Yesus mengatakan : "Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil" (Yohanes 7:24).

Maksud Yesus adalah tidak dilarang untuk menghakimi tetapi jangan asal menghakimi. Jangan menghakimi dengan sekilas pandang atau sekedar ber­dasarkan yang tampak dari luar saja. Menghakimi harus dilakukan dengan adil.

Jadi, yang dimaksud Yesus dalam Matius 7:1-5 sesungguhnya adalah larangan untuk menghakimi secara tidak adil. Yaitu menghakimi secara berat sebelah. Yang terburu-buru atau tergesa-gesa. Yang melupakan penyelidikan dan melalaikan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Ketidakadilan dalam menilai itu tampak dalam pernyataan Yesus berikut ini :

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Matius 7:3-4 (TB)

Bagaimana mungkin bisa melihat selumbar di mata orang lain tetapi balok di mata sendiri ia tidak tahu? Bukankah itu karena ia tidak mau melihat balok di matanya sendiri tetapi lebih suka meneliti mata orang lain sampai-sampai ia melihat ada selumbar di sana?

Inilah ketidakadilan itu : manusia kerap mudah mencari, melihat dan menemukan kesalahan bahkan yang kecil sekalipun dari orang lain tetapi ketika berurusan dengan dirinya sendiri, ia tidak mau (sehingga akhirnya tidak mampu) melihat ada kesalahan yang jauh sejatinya lebih besar sedang dilakukannya.

Itulah kebiasaan manusia berdosa yang egois. Yang hatinya tidak memiliki kasih sejati dan yang hanya tahu kasih akan dirinya sendiri. Mudah saat ia mengenali apa yang kurang, yang salah dan yang merupakan dosa pada orang lain tapi menolak menilai dirinya sendiri dengan ukuran yang sama. Karena itulah ia luput melihat kesalahan yang justru lebih besar dan fatal yang telah dilakukannya.

Pola pikir ini adalah pola pikir yang menggunakan dua standar atau ukuran. Satu ukuran digunakan untuk menilai orang. Standar yang lain digunakan untuk mengukur diri. Tidak heran jika yang tanpa sadar memakai standar ganda seperti ini akan sering jatuh dalam dosa menghakimi. Dosa menilai segala sesuatu dengan tidak adil.

Dua standar yang berbeda ini semakin lebar jaraknya ketika kemudian dikaitkan dengan pola pikir yang membenarkan diri, yang menggunakan ukuran rajin dalam ibadah dan giatnya diri melaksanakan berbagai aturan agama. Orang-orang yang beragama tetapi tidak terhubung dengan Tuhan (dalam suatu koneksi dan pengalaman rohani pribadi yang mendalam) kerap menilai dirinya sendiri sebagai orang-orang yang saleh dan taat beribadah sementara pada saat yang sama, dengan standar yang berbeda mengukur orang dengan aturan dan syarat-syarat agama yang banyak diketahuinya itu, dan dengan cepat memutuskan orang lain berdosa atau bersalah karena telah melanggar hukum-hukum agama.

Tidak heran apabila kita menemukan banyak kasus dalam hidup sehari-hari yang inti masalahnya serupa tetapi ternyata disikapi secara berbeda. Misalnya saja, seorang jaksa  bisa mendakwa seseorang telah mencuri atau melakukan korupsi namun ketika ia sendiri tertangkap basah melakukan korupsi, dengan segera ia berkelit dengan segala alasan untuk membenarkan diri dan menunjukkan dirinya tidak melakukan hal tersebut. Jarang sekali seorang terdakwa yang dengan sukarela dan apa adanya mengakui kesalahannya, bukan?

Dan ini terjadi dalam banyak aspek hidup. Entah itu di dalam rumah tangga dimana suami istri saling menimpakan penyebab keretakan dan kekacauan hubungan mereka sebab kesalahan pihak lain dan memandang dirinya sendiri telah melakukan hal-hal yang benar selama ini  maupun dalam berbagai peristiwa sosial di bidang ekonomi, politik, hukum (dimana pihak-pihak dalam politik selalu mencari kesalahan dan kelemahan lawannya selagi di saat yang sama ia memuji-muji diri dan partainya telah meraih berbagai pencapaian dan prestasi bak sebuah komunitas yang tanpa cela).

Dua standar ini juga berperan dalam kasus-kasus terkait SARA, khususnya di Indonesia yang seringkali dipanaskan isu-isu penistaan agama, yang sebagaimana saya katakan di atas, lebih mudah menyalahkan orang lain menista agamanya daripada melihat dan mengakui apakah dirinya sendiri sebenarnya pernah atau sedang menista agama orang lain.

Sebagai anak-anak Allah, Yesus tidak menghendaki kita menggunakan dua standar yang berbeda ini.
Ukuran yang kita pakai untuk mengukur harus kita pakai untuk mengukur diri kita juga (lihat Lukas 6:38) karena kelak ukuran yang kita gunakan mengukur orang lain akan Tuhan gunakan untuk mengukur dan menilai kita di penghakiman terakhir (Matius 7:2). Dan karena ini, orang-orang yang suka menghakimi dan mendakwa tidak akan lolos dari hukuman.

Sifat seperti ini akan menghalangi kita datang kepada Tuhan maupun berhubungan secara benar dengan Tuhan. Kurangnya sikap periksa dan koreksi diri membuat kita tidak mengandalkan kasih karunia Tuhan tetapi membanggakan perbuatan kita yang sebenarnya sia-sia belaka.
Begitu pula dengan pemahaman dan pengertian kita akan tersesat sebab merasa diri kita baik-baik saja meskipun sebuah balok tertancap di mata kita. Penyakit yang parah yang ada pada diri kita dianggap bukan masalah penting sedangkan kelemahan ringan sesama kita dipandang sebagai sakit menular yang berbahaya. Dalam sikap semacam ini, tidak ada lagi kejernihan maupun ketajaman dalam menilai mana hitam dan putih, benar dan salah. Semua diukur dari kepentingan dan keuntungan pribadi kita saja. Hidup rohani semacam ini adalah rohani yang salah jalan dan hanya dengan pertobatan, ya pertobatan untuk mulai menilai segala sesuatu secara adil dalam terang firman Tuhanlah kita akan dimampukan menggenapkan perintah Tuhan untuk tidak menghakimi dengan timpang.

Merenungkan ini, sadarilah bahwa kita adalah makhluk yang memiliki kecenderungan egois dan suka membenarkan diri sekaligus tanpa disadari mudah menyalahkan atau melemparkan kesalahan pada pihak lain. Oleh sebab keangkuhan di jiwa, kita membiasakan diri memandang diri sebagai pribadi yang baik, benar, tak mungkin keliru atau jika memang ada kesalahan sekalipun itu pasti disebabkan oleh pihak lain.

Bertobatlah dari kecenderungan hati yang semacam itu dengan minta supaya Tuhan  memperbarui hati Anda.
Putuskanlah untuk menilai segala sesuatu menurut ukuran yang sama yaitu ukuran Tuhan sehingga Anda dapat mengasihi juga seturut takaran kasih yang ada pada Tuhan.


Salam revival
Indonesia Penuh Kemuliaan Tuhan

Comments

Popular posts from this blog

HIKMAT DAN KUTIPAN MENGENAI MENDIDIK VS MEMANJAKAN

Oleh: Bpk. Peter B, MA Orang tua yang memanjakan anak-anaknya justru menjerumuskan sang anak dalam kebodohan dan kehancuran. Jika kita mendidik anak-anak kita, pasti TUHAN lebih lagi. Dia tidak akan begitu saja memberikan apa yang diinginkan anak-anak-Nya sehingga mereka malahan justru makin mudah ditipu dan disesatkan iblis. Jerat-jerat iblis dipasang melalui berbagai pengajaran yang hampir benar untuk menyimpangkan anak-anak Tuhan dari apa yang benar.... #Waspadalah #CariPesanYangMurni #YangBenarVsYangHampirBenar

DUA GOLONGAN ORANG DALAM AMSAL 17:10

Oleh Sharon R.  Amsal 17:10 (TB)    Suatu hardikan lebih masuk pada orang berpengertian dari pada seratus pukulan pada orang bebal.  Amsal 17:10 (VMD)   Orang cerdas belajar lebih banyak dari satu teguran daripada orang bodoh belajar melalui 100 pukulan. Ada dua golongan orang yang disebutkan dalam nats diatas. Orang berpengertian dan orang bebal. Kita akan melihat ciri masing² orang tersebut melalui respon mereka terhadap teguran dari Tuhan. Orang berhikmat atau berpengertian menghargai dan belajar dari setiap teguran kepada dirinya. Ketika hal buruk terjadi dengan bersegera ia introspeksi diri dan tidak mencari kambing hitam di luar dirinya. Hatinya terbuka untuk setiap koreksi dari Tuhan. Ia menyadari dirinya lemah, mudah sesat dan perlu selalu koreksi dan perbaikan untuk kebaikan dan pertumbuhan karakter dan rohaninya. Ia tidak pernah mencari² alasan untuk membenarkan diri. Ia selalu menyediakan hati yang remuk bagi Tuhan. Juga hati seorang murid yang rela dan rindu untuk bel

SIKAP DAN PANDANGAN KITA YANG SEHARUSNYA TERHADAP NUBUAT /PENGLIHATAN: MENANGGAPI PESAN PROFETIK YANG DISAMPAIKAN OLEH CINDY JACOB DI MEDIA SOSIAL

Oleh: Didit I. Beberapa hari ini saya mendapatkan kiriman cukup banyak dari rekan-rekan di media sosial tentang nubuatan dari Cindy Jacob terkait Bapak Ahok. Menanggapi pesan nubuatan dari Cindy Jacob yang disebarkan di media sosial tersebut, Tuhan menggerakkan saya untuk mengajak rekan-rekan dan seluruh umat Tuhan untuk bersama menguji pesan yang disampaikan oleh Cindy Jacob dan mencari kehendak Tuhan dalam pesan tersebut. Pesan profetik yang disampaikan oleh Cindy Jacob seperti gambar di bawah ini: Sesuai dengan 1Tesalonika 5:19-22, kita tidak boleh memandang rendah setiap nubuatan namun juga tidak boleh langsung menerimanya mentah-mentah, sebaliknya kita harus mengujinya. Ini berarti sikap kita terhadap setiap nubuatan/penglihatan adalah menampungnya untuk kemudian diuji sesuai dengan cara dan prinsip Firman Tuhan dan mencari maksud serta tujuan pesan nubuatan/penglihatan tersebut. Penting di sini untuk bersikap netral/tidak berprasangka terlebih dahulu terhadap setiap pesan nubuata