Oleh : Peter B, MA
Telah berselang setengah tahun sejak Desember 2019, sejak pertama kalinya diberitakan ada virus baru yang membawa penyakit mematikan muncul di Wuhan, China. Virus yang kemudian menjadi wabah. Pandemi. Covid-19. Dalam rentang waktu yang hanya enam bulan saja, wajah dunia pun berubah. Banyak hal yang tidak pernah kita sangka, yang kemudian kita lihat dan temukan setelah melalui hari demi hari dalam bayang-bayang penyebaran penyakit mematikan yang belum ditemukan penangkalnya ini.
Dalam konteks Indonesia, banyak catatan yang membuat dahi berkerenyit saat mengetahui semuanya itu. Dan hingga hari ini, daftar hal-hal yang mengejutkan itu masih terus bertambah. Wabah corona, harus diakui telah membawa dampak yang melebar kemana-mana. Di segala segi kehidupan. Pemerintahan. Masyarakat. Kehidupan beragama dan kerohanian. Ekonomi dan budaya. Hingga dunia pendidikan dan hiburan.
Mengamatinya, perlahan-lahan terlihat bahwa manusia dan bangsa-bangsa sehebat apapun sebenarnya gagap menghadapi wabah, yang semula dianggap enteng ini. Kita nyatanya tidak tahu bagaimana berurusan dengan wabah ini. Dunia kewalahan. Serba salah. Tak punya hikmat untuk mencari solusi atau bahkan sumber masalahnya. Yang lebih mengecewakan, dunia masih belum berpaling kepada satu-satunya sumber solusi dan pertolongan : Tuhan yang berdaulat atas segala ciptaan-Nya maupun atas peristiwa-peristiwa yang menimpa ciptaan-Nya itu. Corona menyingkapkan apa yang kurang dari dunia, dari bangsa-bangsa. Termasuk apa yang tersembunyi selama ini dari bangsa ini.
Mari saya tunjukkan buktinya.
Wabah corona sejak masuk Indonesia sampai sekarang
Covid-19 baru diakui telah masuk di Indonesia sekitar bulan Maret 2020. Sebelumnya, itu disangkal keberadaannya dengan menyebut bahwa Indonesia bebas corona dan terpelihara karena doa-doa orang indonesia yang agamis dan taat beribadah. Tidak kurang bahkan menteri kesehatan sendiri yang membanggakan hal tersebut, yang mengesankan pandangan yang sama dengan semua pemimpin agama di Indonesia yang sangat percaya kuasa doa. Belakangan, kenyataannya ini menjadi olok-olok dan benar-benar perlu dipertanyakan kebenarannya.
Sejak ditemukan pasien pertama, pemerintah mulai melakukan usaha-usaha penanganan wabah ini. Kesannya selalu tampak lambat dan menganggap enteng walaupun berusaha meniru pola-pola penanganan wabah dari negara-negara yang lebih dulu merasakan dampak wabah. Dan seperti itu saja perkembangan di bulan-bulan selanjutnya. Sekedar meniru trend penanganan dan langkah-langkah negara-negara lain, tetapi tak punya strategi yang matang dan jelas sesuai kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Beberapa kali pemerintah didesak untuk serius dan mencari jalan terbaik demi menekan penyebaran penyakit yang kini sudah menelan nyawa setengah juta jiwa di seluruh dunia ini dan tercatat hampir 3000 orang di Indonesia. Walau begitu, pemerintah tampaknya masih enggan fokus mencari strategi dalam menangani wabah. Keengganan ini tampaknya karena memandang wabah ini hanya menjadi penghambat rencana kerja pemerintahan presiden di periode kedua ini. Lebih-lebih dana yang sudah disiapkan untuk berbagai proyek pembangunan, kini harus dialihkan untuk penanganan pandemi.
Dan di sinilah kita sekarang berada. Dengan kondisi saat ini yang semakin tidak menentu. Ketika negara lain telah menetapkan istilah dan praktek New Normal, pemerintah tampaknya juga tidak mau kalah. Indonesia harus New Normal juga. Bedanya, negara-negara maju selama bulan-bulan suram sebelumnya telah membentuk budaya disiplin dan cara hidup yang baru menyiasati wabah. Kedisiplinan mereka terbukti membuahkan hasil dengan tingkat penurunan orang terjangkit dan korban jiwa. Indonesia? Belum ada kedisiplinan. Puncak pandemi pun belum terlampaui. Penularan dan korban tetap tinggi, bahkan memecahkan rekor demi rekor tiap harinya dibanding waktu-waktu sebelumnya. New Normal Indonesia akhirnya hanya jargon kosong semata. Yang ada adalah kenormalan yang lama dengan ancaman - ancaman angka kematian yang besar akibat pandemi.
Tanggal 28 Juni 2020 kemarin, Pemerintah merilis pidato presiden dalam rapat paripurna dengan para menterinya. Pidato yang sebenarnya sudah disampaikan tanggal 18 Juni 2020, 10 hari sebelumnya. Intinya, presiden meluapkan kekesalan bahkan kemarahannya akan kelambanan dan ketidakmampuan jajarannya, khususnya para menterinya, dalam menangani wabah ini. “Tidak ada progres. Tidak ada kemajuan signifikan!” begitu kata Presiden. Pidato tersebut dapat dilihat di link berikut ini :
Atau
Dan sebelum pidato itu, tidak kurang media opini paling berpengaruh yang selama ini menjadi pendukung presiden malah memberikan komentar-komentar yang keras dan pedas mengenai betapa tidak becus, kacau bahkan korupnya jajaran pemerintah dalam menangani pandemi ini.
Beberapa tulisan yang mengungkap fakta praktek-praktek yang tidak memiliki sense of crisis namun memanfaatkan keadaan susah ini untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok dapat dilihat dalam tulisan-tulisan berikut ini :
Sudah 10 hari sejak pidato presiden disampaikan, tetapi tanda-tanda perbaikan penanganan atau terjadinya penurunan penularan sama sekali belum tampak. Indonesia terhuyung-huyung dalam kondisi yang makin melemah. Nasibnya tidak menentu sebagaimana halnya nasib rakyat yang tidak tahu harus bagaimana dan kemana untuk menyelamatkan diri atau mencari pertolongan di tengah kegoncangan yang melanda ini.
Melalui pandemi ini, terkuak selebar-lebarnya kualitas kita sebagai bangsa dan manusia-manusia Indonesia. Corona menyingkapkan kemalasan kolektif kita. Membuka sikap ketidakacuhan pemerintah terhadap rakyatnya. Dan juga sebaliknya. Rakyat yang tidak mau berubah dari kondisi mental yang tertinggal, tetap percaya akan kabar-kabar bohong dan tinggal dalam keterbelakangan yang kental dengan warna agama. Sikap ala kadarnya dan sudah merasa puas dengan memenuhi syarat-syarat formal yang merasa telah cukup berbuat dalam menangani wabah ditunjukkan di semua lini. Tersingkap pula kapasitas dan kemampuan para pemegang pemerintahan di semua tingkat dan lapisan, bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai good governance itu nyatanya sama sekali tidak berdaya menjadi jawaban ketika krisis menimpa. Yang kemudian tampak kemudian malah sifat-sifat busuk yang semakin memuakkan ketika ada bukti-bukti di lapangan bagaimana orang-orang yang seharusnya mengatasi masalah ini justru memanfaatkan kondisi pahit ini untuk mencari keuntungan-keuntungan memperkaya diri dengan cara yang tidak semestinya. Sangat terlihat bagaimana situasi ini juga dijadikan ajang pertaruhan politik daripada berkarya mencari solusi bagi bangsa.
Komentar-komentar sinis, negatif, bernada putus asa kini mulai membanjiri media-media sosial kita yang biasanya disesaki berbagai dukungan (membuta) dan puja puji kepada rezim pemerintahan yang memasuki periode kedua sekarang ini. Kekecewaan merebak dan meluas dimana-mana selagi anak-anak bangsa berserakan kebingungan harus berbuat apa dan mengikuti siapa.
Bagaimana sikap gereja dan anak-anak Tuhan terkait pandemi?
Mengamati respons gereja maupun berbagai sepak terjang anak-anak Tuhan selama masa pandemi ini, sepertinya ada semacam kesejajaran dengan sikap pemerintah atau masyarakat pada umumnya. Dapat dikatakan sama-sama tidak memiliki sense of crisis. Semua berjalan seperti biasa, seolah tidak ada pandemi dan berusaha disiasati untuk segala aktivitas rohani tetap berjalan seperti sebelumnya walau ada pandemi.
Karena banyak yang menunjukkan indikasi semacam ini, kita dapat mengambil beberapa contoh secara acak yang menunjukkan ini. Misalnya saja, pembicaraan baru-baru ini mengenai gereja-gereja yang menyatakan merugi dan sedang dalam masalah besar karena jauh menurunnya jumlah persembahan yang masuk. Belum lagi berbagai cara dan strategi yang dilakukan gereja untuk menyiasati kondisi akibat wabah supaya tetap menjalankan sistem ibadah dan segala yang terkait dengan itu seperti sebelum wabah daripada mencari lebih lanjut mengapa wabah semacam ini diijinkan terjadi oleh Tuhan hingga membatasi dan mempersulit rutinitas ekspresi-ekspresi rohani yang selama ini kita telah merasa nyaman. Sukar menemukan suatu respons yang menarik diri, merenung dan mencari tahu di hadapan Tuhan, baik dari para pemimpin rohani maupun jemaat, mengenai apa yang Tuhan kehendaki dan sedang kerjakan melalui situasi-situasi krisis seperti sekarang ini.
Di media sosial, khususnya platform atau yang menyediakan wadah untuk video sharing , terpampang dengan jelas bagaimana kita sebagai orang-orang Kristen di Indonesia dalam menyikapi wabah yang menimpa ini. Sejak sistem online hampir menjadi satu-satunya solusi untuk berhubungan secara sosial maupun kegiatan pelayanan, banyak anak Tuhan dan pendeta berbondong-bondong mulai menekuni pembuatan video rohani atas nama pelayanan, dengan tujuan sampingan mencari pendapatan, tentunya. Di sana kita akan menemukan pembahasan dan perbincangan rohani, khotbah dan seminar online, termasuk berbagai perdebatan antara para theolog, pendeta, hamba Tuhan atau antara sesama youtuber Kristen. Perdebatan mengenai berbagai perbedaan pandangan theologia . Namun bukan terkait wabah corona dan apa solusi Tuhan untuk ini. Tapi mengenai topik-topik yang aneh dan tidak punya hubungan langsung dengan situasi krisis terkini yang sangat memerlukan sentuhan hikmat dan solusi dari Tuhan. Ini pun makin diramaikan dengan berbagai debat kontroversial antara tokoh-tokoh atau pendebat-pendebat agama lain dengan mereka yang menyebut diri sebagai apologet-apologet Kristen mengenai pertentangan di dalam keimanan masing-masing. Sesuatu yang terlihat semakin kasar dan brutal, yang sangat mungkin tidak pernah dipikirkan akan menuju kemana dan berujung pada titik-titik seperti apa dampaknya bagi kondisi keseluruhan sosial kemasyarakatan negara ini. Semua perenungan, pembicaraan, diskursus bahkan perdebatan, haruslah diakui, masih sangat sedikit yang menyinggung akan peran apa yang dapat kita lakukan sebagai umat Tuhan, yang dipanggil sebagai terang dan garam dunia ini, atas pandemi yang sama sekali belum terlihat tanda-tanda berakhirnya ini.
Yang jelas terlihat adalah semakin banyak anak-anak Tuhan yang bersikap apatis, mencari selamat sendiri-sendiri dengan berusaha menyesuaikan kondisi-kondisi kehidupan mereka sehari-hari demi bertahan dengan cara dan kekuatan sendiri menjalani hidup dalam bayang-bayang krisis di berbagai bidang ini.
Adakah di antara anak-anak Tuhan dan hamba-hamba Tuhan ini yang sungguh-sungguh rindu melihat kuasa Tuhan bekerja memukul balik wabah ini sehingga berhenti –seperti doa-doa Musa yang menghentikan wabah sesaat setelah ia berdoa di hadapan Tuhan? (lihat Keluaran 8:12,30,33)
Adakah yang memperhatikan seruan hati Tuhan supaya umat-Nya berbalik kepada-Nya dengan mencari cara mengamalkan 2 Tawarikh 7:14 mengenai kunci-kunci pemulihan suatu bangsa?
Adakah yang melihat, percaya dan bertindak dalam keyakinan akan kuasa pertobatan sebagai solusi menghentikan bencana yang mengerikan ini sebagaimana yang diserukan di masa nabi Yoel?
Adakah suatu gerakan besar dan nyata oleh pemimpin-pemimpin rohani yang hari-hari ini dipercayakan otoritas yang besar untuk memimpin jemaat, yang beranjak dari keprihatinan yang sangat dan bersumber dari kerinduan hati Tuhan membawa gereja Tuhan melangkah mengikuti strategi ilahi yang memberikan titik terang dan jawaban dari keadaan sekarang ini?
Masih adakah harapan dan solusi bagi Indonesia?
Tak dapat disangkal, sejauh ini corona menyingkapkan banyak hal akan diri kita sebagai orang-orang Indonesia. Dan harus diakui, yang disingkapkan oleh wabah ini adalah kenyataan akan banyak sifat negatif, jahat dan busuk dari jati diri kita. Kita memerlukan obat serta jawaban bagi sakit yang akut ini.
Yesus Kristus adalah jawaban. Dialah jawaban satu-satunya bagi setiap permasalahan manusia. Minimal untuk kesukaran yang dihadapi gereja hari ini. Kita harus mencari Yesus. Mencari hati-Nya. Kembali mengerjakan apa yang dinginkan dan diharapkan-Nya atas kita. Kita memerlukan kasih karunia-Nya. Dan jika untuk itu kita perlu mengevaluasi segala hal yang selama ini sudah kita anggap baik dan benar sebagai gereja dan pelayan-pelayan-Nya, maka biarlah itu kita lakukan - dengan segala kerendahan hati dan kerinduan akan pemulihan. Kita harus mengambil keputusan tegas. Seperti anak yang hilang kembali ke rumah Bapa. Merendahkan diri dan mengakui bahwa pilihan dan keputusan kita selama salah dan kita telah mengabaikan kerinduan hati-Nya.
Kita harus membayar harga pemulihan, yang adalah bagian kita. Tidak mungkin ada perubahan dan pemulihan tanpa itu. Mari kita mencari apa yang Tuhan inginkan dan kehendaki –dengan segenap hati dan niat. Mari berkomitmen melakukannya –apapun yang harus kita lakukan. Mari kembali mengarahkan pandangan kepada Tuhan kita –yang mampu menolong dan melepaskan kita, yang akan membawa kita naik lebih tinggi menjadikan kita umat yang berdampak dalam perubahan di muka bumi. Itu harus dimulai dari sekarang.
Terkait pemulihan, Allah pasti melakukan bagiannya.
Jadi sekarang, itu tergantung Anda dan saya.
Salam revival
Indonesia Penuh Kemuliaan Tuhan
Comments
Post a Comment