Setelah beberapa hari terus mengikuti media sosial dan mengamati berita-berita terkait dua pemimpin bangsa yg selalu hangat dibicarakan yaitu Presiden Jokowi dan Gubernur Ahok, maka sejauh ini saya sampai pada titik kesimpulan yang semakin kuat ketika menilai komentar-komentar masyarakat yang banyak sekali dimuat atas berita-beritanya.
Komentar-komentar atas berita Jokowi cenderung negatif, nyinyir, tidak puas dan menghujat habis-habisan khususnya terkait sikap yang kurang jelas atau tidak tegas mengenai kasus cicak buaya versi ke sekian puluh yang semakin tegang sekaligus membosankan.
Presiden dinilai terus dalam kondisi tertekan dan masih dikategorikan belum sigap dan punya cara jitu menghadapi permainan politik di sekitarnya.
Komentar-komentar berbeda diberikan atas Ahok. Hampir semua rata-rata memberikan pujian, dukungan, dorongan semangat dan salut atas apa yang dilakukannya dalam kasus APBD Siluman DKI yg kini mengancam posisinya sebagai Gubernur tsb. Terlepas dari cara bicara dan komunikasinya yang to the point dan cenderung kasar, tidak banyak rupanya yang mempersoalkan hal itu malah beberapa orang mengaanggapnya wajar karena yang dihadapi Ahok dinilai sebagai figur-figur yang tidak pro rakyat tapi pro kepentingan pribadi dan partai masing-masing.
Mengapa ada perbedaan?
Di era informasi semacam ini, dimana informasi dan pengetahuan dapat digali dari manapun, ada benarnya jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang (khususnya di perkotaan) bukan lagi masyarakat yg bodoh. Mereka tahu, meskipun samar², manakah kepemimpinan yang lebih baik.
Menggunakan cara dan pendekatan yg berbeda disertai gaya masing-masing adalah sah. Tidak ada yang lebih baik dan lebih benar tentang semua itu.
Kepemimpinan yang lebih baik ditandai bukan dengan cara dan gaya tapi dengan seberapa teguh & kokohnya seorang pemimpin memegang prinsip-prinsip kebenaran dan tidak memilih mengkompromikan kebenaran dengan alasan strategi politik.
"Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" tidak pernah dimaksudkan oleh Tuhan sebagai mengkompromikan kebenaran demi menjadi garam dan terang dunia.
Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego bahkan Yusuf di Mesir sekalipun adalah alat-alat Tuhan untuk rencana Tuhan memberkati bangsa-bangsa. Tapi lihatlah, tidak satupun dari mereka yang menempuh jalur kompromi supaya mereka tidak kehilangan jabatan dan posisi mereka di pemerintahan.
Sadrakh dkk memilih dapur api daripada tetap menjadi gubernur.
Daniel memilih gua singa daripada jabatan perdana menteri.
Yusuf memilih tetap lurus dan tidak bermain kekuasaan saat harus menghadapi trik istri
Potifar maupun sewaktu menjadi tangan kanan kepala penjara.
Hal-hal semacam itu kini dilakukan oleh Ahok.
Dia memilih tidak menjabat daripada mendustai nurani dan mengorbankan integritasnya sebagai pejabat dan anak Tuhan.
Dia siap tidak menjabat apapun dan mengambil risiko berhadapan dengan orang banyak dan dihadapkan dengan hukum yang diputarbalikkan daripada tetap menjadi gubernur dalam kompromi dengan ketidakadilan bagi rakyat.
Meskipun terkesan nekad, Ahok rupanya juga telah siap menghadapi berbagai trik lawan-lawan politiknya. Kabar-kabar terbaru hingga kini menunjukkan ada tanda Ahok semakin di atas angin.
Dalam kepemimpinan, integritas yg adalah dasar kepercayaan dari pemberi mandat dan amanat sangat vital dan tidak boleh goyah sedikit saja.
Bahkan sebaliknya, kebenaran yg ditegakkan -bukan dikompromikan- akan menjadikan kepemimpinan kokoh seterusnya.
Amsal 16:12 Melakukan kefasikan adalah kekejian bagi raja, karena takhta menjadi kokoh oleh kebenaran.
Amsal 29:14 Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kokoh untuk selama-lamanya.
Ketika kepercayaan runtuh, kepemimpinan pun mulai keropos.
Mari kita tetap dukung dan doakan pemimpin-pemimpin baru Indonesia ini. Kiranya Tuhan berkenan terus menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin perubahan Indonesia bukan saja menjadi lebih baik tapi Indonesia sesuai rencana illahi yang sudah beribu-ribu tahun tersimpan di hati dan pikiran Tuhan.
(Ditulis oleh Bp. Peter Bambang Kustiono)
Presiden dinilai terus dalam kondisi tertekan dan masih dikategorikan belum sigap dan punya cara jitu menghadapi permainan politik di sekitarnya.
Komentar-komentar berbeda diberikan atas Ahok. Hampir semua rata-rata memberikan pujian, dukungan, dorongan semangat dan salut atas apa yang dilakukannya dalam kasus APBD Siluman DKI yg kini mengancam posisinya sebagai Gubernur tsb. Terlepas dari cara bicara dan komunikasinya yang to the point dan cenderung kasar, tidak banyak rupanya yang mempersoalkan hal itu malah beberapa orang mengaanggapnya wajar karena yang dihadapi Ahok dinilai sebagai figur-figur yang tidak pro rakyat tapi pro kepentingan pribadi dan partai masing-masing.
Mengapa ada perbedaan?
Di era informasi semacam ini, dimana informasi dan pengetahuan dapat digali dari manapun, ada benarnya jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang (khususnya di perkotaan) bukan lagi masyarakat yg bodoh. Mereka tahu, meskipun samar², manakah kepemimpinan yang lebih baik.
Menggunakan cara dan pendekatan yg berbeda disertai gaya masing-masing adalah sah. Tidak ada yang lebih baik dan lebih benar tentang semua itu.
Kepemimpinan yang lebih baik ditandai bukan dengan cara dan gaya tapi dengan seberapa teguh & kokohnya seorang pemimpin memegang prinsip-prinsip kebenaran dan tidak memilih mengkompromikan kebenaran dengan alasan strategi politik.
"Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" tidak pernah dimaksudkan oleh Tuhan sebagai mengkompromikan kebenaran demi menjadi garam dan terang dunia.
Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego bahkan Yusuf di Mesir sekalipun adalah alat-alat Tuhan untuk rencana Tuhan memberkati bangsa-bangsa. Tapi lihatlah, tidak satupun dari mereka yang menempuh jalur kompromi supaya mereka tidak kehilangan jabatan dan posisi mereka di pemerintahan.
Sadrakh dkk memilih dapur api daripada tetap menjadi gubernur.
Daniel memilih gua singa daripada jabatan perdana menteri.
Yusuf memilih tetap lurus dan tidak bermain kekuasaan saat harus menghadapi trik istri
Potifar maupun sewaktu menjadi tangan kanan kepala penjara.
Hal-hal semacam itu kini dilakukan oleh Ahok.
Dia memilih tidak menjabat daripada mendustai nurani dan mengorbankan integritasnya sebagai pejabat dan anak Tuhan.
Dia siap tidak menjabat apapun dan mengambil risiko berhadapan dengan orang banyak dan dihadapkan dengan hukum yang diputarbalikkan daripada tetap menjadi gubernur dalam kompromi dengan ketidakadilan bagi rakyat.
Meskipun terkesan nekad, Ahok rupanya juga telah siap menghadapi berbagai trik lawan-lawan politiknya. Kabar-kabar terbaru hingga kini menunjukkan ada tanda Ahok semakin di atas angin.
Dalam kepemimpinan, integritas yg adalah dasar kepercayaan dari pemberi mandat dan amanat sangat vital dan tidak boleh goyah sedikit saja.
Bahkan sebaliknya, kebenaran yg ditegakkan -bukan dikompromikan- akan menjadikan kepemimpinan kokoh seterusnya.
Amsal 16:12 Melakukan kefasikan adalah kekejian bagi raja, karena takhta menjadi kokoh oleh kebenaran.
Amsal 29:14 Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kokoh untuk selama-lamanya.
Ketika kepercayaan runtuh, kepemimpinan pun mulai keropos.
Mari kita tetap dukung dan doakan pemimpin-pemimpin baru Indonesia ini. Kiranya Tuhan berkenan terus menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin perubahan Indonesia bukan saja menjadi lebih baik tapi Indonesia sesuai rencana illahi yang sudah beribu-ribu tahun tersimpan di hati dan pikiran Tuhan.
(Ditulis oleh Bp. Peter Bambang Kustiono)
Comments
Post a Comment