Oleh : Ruth Yanti Tampinongkol
Setiap kali liburan lebaran saya selalu meluangkan waktu pulang ke kota Solo untuk berkumpul dan merayakannya bersama dengan keluarga.
Saya berdoa kepada Tuhan supaya Dia berkenan memberikan berkat-berkat rohani selama saya berada di tengah-tengah keluarga yang belum percaya.
Tahun ini saya pulang lebih awal daripada semua saudara lainnya. Disana saya bertemu dengan salah seorang keponakan laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun. Saya kurang begitu dekat/akrab karena jarang sekali bertemu. Tetapi ada satu hari dimana itu menjadi momen untuk kami saling mengenal.
Dimulai pada sore hari ketika saya sedang membuat kue kering bersama dengan kakak ipar (ibu dari anak tersebut) di dapur untuk mengisi waktu luang menunggu saudara lain yang belum tiba. Saya melihat anak ini datang ke dapur untuk membantu ibunya. Bagi saya ini sesuatu yang langka karena dari kesepuluh keponakan (dan satu cucu keponakan) baik laki-laki dan perempuan jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. Entah bermaksud untuk membantu ataupun sekedar bermain-main. Berulang kali saya bertanya kepada ibunya apakah nantinya mau menjadi seorang Chef dan ipar saya tertawa mendengar pertanyaan itu lalu menyampaikan alasan bahwa anaknya hanya ingin bersamanya. Bisa jadi memang benar karena belum ada teman bermain dari saudara-saudara yang lain.
Sementara ibunya sudah selesai mengerjakan bagiannya dan beristirahat, saya masih melanjutkan bagian saya yang belum usai. Saya berpikir anak ini tidak akan berani menggangu saya seperti yang ia lakukan pada ibunya. Tetapi dugaan saya meleset karena ia benar-benar datang dengan agresif untuk menawarkan bantuan. Meski takut nantinya hanya akan bermain-main dengan kuenya tetapi saya memberinya kesempatan dengan senang hati. Dan benar adanya, dia tidak mengganggu tetapi benar-benar memudahkan bahkan sangat membantu sembari saya ingatkan untuk berhati-hati.
Tangannya begitu kecil tetapi sangat lincah dan bahagia ketika memasukkan kue ke dalam loyang. Selama proses memasak, dia tidak beranjak sama sekali sebelum saya benar-benar selesai. Bahkan ketika saya makan malam di meja makan, ia pun duduk menemani disamping saya (disaat kedua orang tua dan kakaknya tidak bersamanya) bahkan bercanda dengan meledek saya, "koq mbak anti nggak puasa sih..??" yang sontak saja membuat saya tertawa karena tingkahnya yang lucu.
Hingga malam hari saat semua sudah tertidur di kamar masing-masing dan saya masih membaca di tempat tidur, tiba-tiba dia datang lagi dan duduk di dekat saya. Dia mulai mengambil kain syal saya untuk dimainkan dan dipakai di lehernya. Saya membiarkan (sebab tidak merasa terganggu) supaya dia merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya dan saya bisa tetap fokus untuk membaca.
Tidak lama setelah itu, dia mulai berbaring di depan saya. Saya melihat isyarat bahwa dia ingin tidur bersama saya. Saya peka dan segera menepuk-nepuk kecil pahanya dan hanya beberapa saat saja dia tertidur lelap.
Ayahnya yang melihat anaknya tidur di tempat saya pun seolah tidak kuatir anaknya akan menangis lalu memasangkan selimut.
Saya menawarkan supaya kakak saya menemani anaknya tidur karena saya bisa tidur di tempat ibu saya. Tetapi kakak saya menolak dan meyakinkan bahwa anaknya tidak akan menangis jika sewaktu-waktu terbangun. Sebelum tidur, Tuhan menggerakkan hati saya untuk berdoa menyerahkan keponakan kecil saya kepada Tuhan.
Ditengah doa itu Tuhan menaruhkan sebuah hikmat: "Semua orang harus dibawa kepada Tuhan bukan kepada kita (manusia). Bukan supaya mereka mencintai kita tetapi mencintai dan mengenal Tuhan. Bukan supaya menjadi milik kita tetapi milik Tuhan."
Tuhan menjelaskan bahwa anak ini adalah gambaran dari kanak-kanak rohani. Seorang anak yang selalu ingin mengalami cinta dan kasih sayang. Selalu ingin diperhatikan dan mendapatkan perlakuan yang istimewa.
Namun mereka seringkali menolak ketika mendapatkan teguran. Mereka juga sangat egois (hanya peduli pada dirinya sendiri). Saya mengamati semuanya selama beberapa hari berikutnya ketika berkumpul dengan saudara-saudara lainnya.
Saat merenungkan itu semua, Roh Kudus menaruhkan dalam hati saya sebuah perkataan: "Yang Tuhan inginkan adalah menjadi dewasa dengan meninggalkan kanak-kanak rohani". Mendengar kata-kata lembut itu saya mengucap syukur atas berkat rohani yang Tuhan berikan.
Sebagaimana orang tua jasmani yang menginginkan anaknya terus bertumbuh dewasa demikian halnya dengan Tuhan. Dia menghendaki setiap kita bertumbuh semakin dewasa rohani.
Pada waktu saya masih anak kecil, saya berbicara seperti anak kecil, saya berperasaan seperti anak kecil dan saya berpikir seperti anak kecil. Sekarang saya sudah dewasa, kelakuan saya yang kekanak-kanakan sudah saya buang. 1 Korintus 13:11 (BIMK)
•Beberapa catatan terkait pentingnya pertumbuhan rohani dalam kehidupan orang percaya:
1). Mereka yang mengaku mengenal Tuhan dan mengikut Dia tetapi menolak pertumbuhan dan perubahan adalah kanak-kanak rohani. Mereka lebih menyukai kenyamanan karena tidak menyadari bahwa hatinya dikuasai oleh cinta diri yang begitu kuat.
Kanak-kanak rohani adalah mereka yang meskipun sudah dewasa secara usia tetapi masih hidup dalam sifat kanak-kanak dimana semuanya akan nampak dari perkataan yang penuh keluhan, perasaan yang mau menang sendiri (egois) dan pikiran yang sempit.
Contohnya, anak sulung dalam kisah perumpamaan anak yang hilang dalam kitab Lukas 15:11-32.
Saat bekerja di ladang dan mendengar bapanya memberikan sambutan dengan sebuah pesta meriah bagi adiknya yang telah menghabiskan harta untuk foya-foya hatinya menjadi marah sehingga tidak mau masuk rumah. Bapanya harus membujuknya seperti anak kecil supaya ia dapat mengerti maksud hati bapanya. Bukannya mengerti ia justru bersungut-sungut, mengeluh dan menuntut dengan mengingatkan bapanya bahwa seharusnya dirinyalah yang lebih layak dan pantas untuk mendapatkan perlakuan istimewa bukan adiknya yang telah melakukan perbuatan yang merugikan. Ia merasa dan berpikir bahwa bapanya tidak adil padanya sebab lupa bahwa bapanya selalu bersama-sama (tidak pernah jauh) dengannya.
Betapa pedih membayangkan seorang bapa yang penuh kasih itu harus meyakinkan cintanya kepada anaknya sendiri dengan berkata: ... ‘Son, you are always with me, and everything that belongs to me is yours. Luke 15:31 (NET).
Karena cinta diri yang begitu kuat, anak sulung melupakan bahwa sebagaimana bapanya mengasihi adiknya yang tersesat dan telah kembali pulang demikian ia pun selalu ada di hati bapanya. Seharusnya ia memahami bahwa 'dikasihi bapa itu cukup', meskipun tidak harus selalu diwujudkan dalam perbuatan nyata (sebuah pesta) sebab semua yang dimiliki bapanya adalah juga miliknya.
Orang-orang yang dewasa rohani tidak akan menjadi marah dan iri hati melihat orang lain yang tampaknya lebih diberkati secara jasmani daripada dirinya sebab kasih Bapa tidak hanya cukup diukur dengan sebuah pemberian (mujizat).
2). Kehidupan rohani yang tidak bertumbuh akan membawa dampak buruk yang menimbulkan kerusakan dan kekacauan.
Bagi mereka yang masih hidup sebagai kanak-kanak rohani tidak dapat memahami hikmat Tuhan sehingga sukar membedakan yang benar, berkenan dan sempurna sebab selalu membiarkan dirinya dikuasai iri hati dan mementingkan diri sendiri yang membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang egois.
Mereka bahkan tidak peduli bahwa keegoisan hati mereka bukan hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga dapat melukai orang lain. Sifat-sifat inilah yang juga ada pada orang-orang farisi yang agamawi, apabila diabaikan maka dapat menimbulkan berbagai perselisihan diantara sesama khususnya saudara seiman.
Jika Saudara penuh dengan dendam, iri hati serta sifat mementingkan diri sendiri, janganlah sekali-kali menyombongkan diri sebagai orang yang bijaksana dan baik. Ini adalah sejenis dusta yang paling buruk. Yakobus 3:14 (FAYH)
Karena, kalau kamu masih iri hati dan mementingkan diri sendiri, berarti hidupmu masih kacau dan kamu masih bisa melakukan kejahatan apa saja. Yakobus 3:16 (TSI2)
3). Mereka yang dikuasai oleh keegoisan/kehendak sendiri karena menuruti kata hati, bukan hanya menjadi kanak-kanak atau sekedar bayi rohani tetapi seperti orang yang sama sekali tidak mengenal Tuhan.
Sebab Saudara adalah orang Kristen yang masih bayi, yang dikuasai oleh kehendak sendiri dan bukan oleh kehendak Allah. Jika Saudara iri-mengiri dan berpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, bukankah hal itu membuktikan bahwa Saudara masih bayi yang hanya menurutkan kata hati saja? Sesungguhnya, Saudara berkelakuan seperti orang yang sama sekali tidak mengenal Tuhan. 1 Korintus 3:3 (FAYH)
Mengenal Kristus harus dibuktikan dalam sebuah PERTUMBUHAN ROHANI, YAITU SEMAKIN DEWASA DI DALAM DIA.
Kedewasaan rohani dimulai ketika kita telah menyerahkan seluruh hidup kita untuk dikuasai oleh kehendak Tuhan dengan mematikan kehendak kita sendiri.
Mereka yang menginginkan sebuah kedewasaan rohani senantiasa membuka hati dengan mengijinkan setiap proses Tuhan serta kebenaran-Nya bekerja untuk membaharui hati dan pikirannya hari lepas hari (Roma 12:2). Hanya dengan cara seperti ini mereka semakin diperkaya dengan kekayaan rohani yang melahirkan sifat-sifat ilahi.
RENUNGAN:
Menjadi dewasa rohani adalah sebuah pekerjaan atau proses pertumbuhan untuk mencapai keserupaan dengan Kristus. Diperlukan ketekunan dalam berbagai ujian sekolah kehidupan.
Orang-orang yang bertumbuh dalam kedewasaan iman pada akhirnya mampu menjaga perkataan, perasaan dan pikiran oleh karena hikmat Tuhan sehingga menjadikan mereka semakin bijaksana dalam segala keadaan. Mereka adalah orang-orang yang melihat selumbar/serbuk kayu dimata sesamanya untuk mengeluarkan balok dari matanya sendiri. Memandang kejahatan dan kekurangan orang lain tanpa melupakan kebaikannya sama sekali.
KESIMPULAN:
KEDEWASAAN ROHANI adalah salah satu tujuan tertinggi dari penciptaan Tuhan atas hidup umat-Nya. Kepada mereka yang mencapai kedewasaan penuh di dalam Kristus dipercayakan otoritas dan tanggung jawab dalam pekerjaan-Nya. Menjadi hamba-hamba sejati yang bekerja (mengabdi) kepada Bapa Surga dan BUKAN SEKEDAR PESURUH ATAU BUDAK MANUSIA.
Tuhan Yesus memberkati perjuangan kita.
Comments
Post a Comment